Senin, 16 November 2009

Ajakan Peduli Lingkungan

KESEDERHANAAN dan kepedulian pada lingkungan. Itulah yang disampaikan pasangan ilmuwan
Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto dan istri tercintanya, Idjah Natadipradja. Tak hanya kepada
masyarakat luas, kepedulian pada lingkungan keduanya diperlihatkn pada lingkup tempat
tinggalnya di Jln. Cimandiri, Kota Bandung.
Air dari talang air disalurkan meniti rantai menuju sumur-sumur resapan. Tak heran jika
pekarangan mereka tidak pernah tergenang lama, dan tanah lebih subur. Aneka tanaman yang
dipelihara pun hanya diberi pupuk, tanpa pemberian pestisida. Tanaman zodiak, rosemari,
dan geranium pun dimanfaatkan sebagai tanaman pengusir nyamuk. Praktis, tanpa perlu keluar
uang untuk membeli obat nyamuk.
”Sejak lampu hemat energi tersedia di toko, kami mengganti semua lampu pijar
dengan lampu hemat energi. Kami juga mematikan lampu TV, bukannya distel pada stand by
yang makan listrik lima watt,” ujar Otto.
Otto yang kelahiran Purwokerto, 19 Februari 1926, sebagai anak keenam dari 13
bersaudara alias di tengah-tengah dari pasangan Soediro - Soemarni. Nama aslinya adalah
Soemarwoto, namun saat kecil dia biasa dipanggil Otok. Nah, saat sekolah di Amerika yang
kelak bertemu dengan jodohnya, Soemarwoto menyebutkan nama pertamanya Otok. Orang Amerika
menulis Otok dengan ejaan Otto dan melekat hingga kini.
Otto menganjurkan hidup sehat dan gemar menabung. Memang, Otto kecil sudah terbiasa
menabung di celengan, hingga suatu ketika dia berhasil membeli kambing jawa saat berusia
13 tahun. Maka dia menganjurkan untuk pergi jarak dekat cukup jalan kaki. Sedangkan jarak
menengah bisa menggunakan sepeda. Dengan demikian ada ongkos transportasi yang bisa
dihemat. Sayangnya, masyarakat kita malas untuk menggerakkan badan, sehingga penjualan
motor meningkat dari tahun ke tahun. Uang yang ada harus dibagi untuk membeli kendaraan
yang justru menimbulkan polusi udara.
Sementara Idjah merupakan anggota keluarga terpandang di Ciamis. Neneknya merupakan
cucu Patih Sukapura. Sedangkan ayah Idjah adalah keturunan Prabu Haur Kuning. Meski
tergolong bangsawan dan berhak menyandang gelar raden, orang tua Idjah berpikiran maju
dengan tidak menempelkan gelar pertanda keturunan. Idjah mengenang perkataan ayahnya, ”Ayah
berkata, jaman sudah berubah. Gelar yang betul adalah Dokter (Dr), Meester (Mr) (sarjana
hukum), dan Ingsinyur (Ir) seperti yang dipakai oleh Soekarno itu! Bukan pertanda
keturunan.” (hal. 30).
Keduanya bertemu saat bersekolah di Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Idjah adalah
pakar biologi. Temuan penelitiannya yang diakui di dunia adalah keahlian dalam
menyuntikkan zat untuk menunjukkan anatomi pembuluh darah kelenjar susu dengan mendetail
sampai yang terhalus pada mencit (tiksu putih). Dengan demikian hal itu membantu dalam
penelitian kanker dan genetika.
Dapat dibayangkan betapa halusnya pembuluh darah pada hewan tersebut. Bagaimana Idjah
bisa melakukannya? Ternyata dengan merendah dia berdoa sebelum melakukan penyuntikan,
seraya memohon ampun pada Allah karena akan membunuh makhluknya, dan mohon bimbingan,
karena percobaan itu untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Prof. Dr. Mohamad Soerjani (Institut Pendidikan dan Pengembangan
Lingkungan Jakarta) yang juga murid dan kolega Otto, figur Otto Soemarwoto menunjukkan
keberpihakannya pada petani diwujudkan sewaktu diadakan bazar tahun 1953 di Kompleks
Ngasem, Yogyakarta. ”Mas Otto membeli baju pengemis, dicucinya dan digunakannya
sebagai pemimpin petani dengan bajunya yang compang-camping. Semuanya itu membuka gambaran
bahwa beliau adalah mahasiswa yang akan menjadi insinyur pertaniannya rakyat jelata,”
ujarnya.
Atas inisiatif Prof. Otto, Kota Bogor sebagai sumber daya peneliti biologi terangkat ke
taraf kawasan dunia sebagai pusat penelitian biologi tropika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar